A. Hermelink, SCJ
datang ke Indonesia sebagai misionaris pada tahun 1926. Sebagai
misionaris, ia menerima situasi dan daerah yang baru meski itu butuh
penyesuaian yang tinggi. “Terima kasih atas surat yang dikirimkan kepada
saya. Inilah tanda kasih dari anggota keluarga di mana kita hidup
bersama. Syukur atas kenangan indah ketika kita di seminari tinggi.
Boleh dikatakan, kita hidup di sini mulai dengan kehidupan baru di dunia
yang baru, dan kita akan ikut di dalam kehidupan baru ini,” tulisnya
dalam suratnya yang tertanggal 16 Agustus 1927.
Dan di saat sendiri
sebagai misionaris, ia merindukan hidup bersama dalam komunitas. Dalam
situasi yang demikian, komunitas bukanlah soal jumlah orang yang hidup
di satu rumah, tetapi kontak hati, rasa kebersamaan, meski hidup
berjauhan. “Saudara yang baik, terima kasih atas suratnya. Adalah hal
yang baik di mana dengan ini kita dapat mengenang masa lalu saat kita
hidup bersama. Yang selalu menjadi kenangan adalah saat kita di Seminari
Agung,” tulisnya dalam surat yang sama.
Pada tahun 1961, A. Hermelink ditahbiskan menjadi
uskup di Roma. Selama menjadi uskup Tanjungkarang, ia tinggal di
Pringsewu sampai akhir hayatnya. “Romo Kanjeng itu semestinya jadi
beato,” komentar Ibu Patricia Sunarmi yang mengenal Mgr. Hermelink sejak
tahun 1970.
Umat di
Pringsewu memanggil uskupnya dengan sebutan `Romo Kanjeng’. Hampir
setiap sore ia mengunjungi orang sakit di rumah sakit yang terletak di
depan pastoran. Ia berdoa bagi orang yang sakit, baik yang Katolik
maupun yang Muslim atau Budha. Anehnya, tidak seorangpun yang pernah
menolaknya. Semua orang menerimanya. Sunguh, ia mewujudkan kasih dan
perhatian tanpa pandang bulu.
Karena kesungguhan
menjiwai kasih Kristus, di hadapannya tidak ada orang jahat. Suatu
ketika ia membantu orang-orang miskin mencari tanah untuk tempat
tinggal. Ada banyak janda dan anak sekolah tidak mempunyai tempat
tinggal. Melalui bantuannya, tanah menjadi murah dan banyak orang
mendapatkan tempat tinggal. Tetapi ada orang yang memanfaatan kebaikan
itu untuk keuntungan diri. Setelahnya orang itu menjualnya dengan harga
yang sangat mahal. “O, niku mboten saged, mboten sae” (O, itu tidak
bisa, tidak baik). “Dia melakukan seperti itu karena ia tidak tahu ia
menyakiti orang,” komentar Romo Kanjeng setelah mengetahuinya dengan
tanpa dendam.
Begitu pun saat anak
didiknya mbalelo (berkhianat) . Ia tak pernah memarahinya. Waktu itu ia
membantu anak-anak untuk sekolah. Bahkan 80 siswa-siswi di antaranya
adalah non Katolik. Ada yang sejak kecil disekolahkan, namun sesudah
selesai dan bekerja pindah agama. Tentang anak itu Romo Kanjeng
berkomentar, “Nggak apa-apa.” Ia sungguh menghargai kebebasan orang
lain, namun juga menunjukkan cinta yang ikhlas, tak menuntut balas,
bahkan mungkin berakibat menyakitkan.
Meskipun sudah menjadi
uskup, lampu senternya selalu menyala setiap malam. Ia selalu keluar
malam untuk kunjungan, meski hanya sebentar. Ia tak mau dikawal. Ketika
masuk ke rumah umatnya yang sederhana-miskin, ia langsung bertanya,
“Sudah menanak nasi atau belum? Apakah anak-anak sudah makan?” Kemudian
ia mengajak berdoa bersama dengan keluarga yang ada di rumah, lalu
memberkati mereka.
Kehadirannya bagaikan
Bunda Maria saat mengunjungi Elisabeth saudarinya. Elisabeth merasa
dikunjungi oleh orang yang diberkati Tuhan. Demikian pun umat di
Pringsewu saat menerima kunjungan Romo Kanjengnya ini. “Berkatnya
benar-benar merasuk, seperti Tuhan Yesus. Sepertinya ia adalah orang
yang diberkati,” kenang Bapak dan Ibu Raharjo yang dulu sering
dikunjungi oleh Romo Kanjeng.
Bapak dan Ibu Raharjo
yang kini tinggal di seberang tembok makam Romo Kanjeng mempunyai
pengalaman sendiri. Saat itu anak pertama mereka sakit keras selama lima
tahun. Dokter di Rumah Sakit Pringsewu sudah angkat tangan. Kata
dokter, “Kalau sembuh, anak ini tidak bisa sembuh sempurna.” Bapak dan
Ibu Raharjo bingung, harus berobat ke mana untuk anak mereka. Saat
bingung ini, Romo Kanjeng mengunjungi rumah mereka. Menghadapi keadaan
tersebut, Romo Kanjeng berkata, “Selama anak ini masih hidup, kita perlu
mengusahakannya. Jangan percaya takhayul, apalagi pergi ke dukun. Usaha
ibu sampai mentok, namun Tuhan yang menentukan. Yakinlah anak ibu
sembuh.”
Karena Bapak dan Ibu
Raharjo tidak memiliki uang, Romo Kanjeng memberi 5.000 rupiah untuk
bekal berobat ke Jakarta. Ternyata, anak itu sembuh, bahkan sembuh
sempurna. Sekolahnya pun pintar. Berdasarkan pengalaman tersebut,
sekarang ini Ibu Raharjo yakin bahwa Romo Kanjeng ada di surga sekarang.
Karena itu, sampai sekarang, bila mendapatkan kesulitan hidup, mereka
berdoa melalui perantaraan Romo Kanjeng di makamnya.
Setiap hari Jumat sore
pukul 16.00 WIB, Romo Kanjeng keliling untuk misa lingkungan. Sebelum
misa, ia selalu mengumpulkan anak-anak di halaman rumah. Ia sayang
dengan anak-anak. Ketika ada anak salaman dengan Romo Kanjeng, ada ibu
bilang, “Kalau salaman pakai tangan manis (kanan)!” Sahut Romo Kanjeng,
“Tuhan memberi sama indahnya tangan kanan dan kiri. Mengapa harus
salaman dengan tangan kanan?” Ada lagu yang sering diajarkan untuk
anak-anak yang sampai saat ini masih ada dalam ingatan umat di
Pringsewu:
Ayah ibu saudara, kami cintaTeman dan orang lain, kami cinta
Kami saling membantu, karna cinta
Di dalam apa saja, kami cinta
Setiap akan Misa
Kudus, Romo Kanjeng selalu berdiri di depan pintu masuk gereja.
Mendekati misa dimulai, sepertinya mengabsen umatnya. Ia hafal betul
umatnya, bahkan namanya. Kalau tidak kelihatan di gereja, ia
mendatanginya di malam hari. “Mengapa kemarin tidak ke gereja?” Setelah
misa selesai, ia cepat-cepat keluar lalu berdiri di pintu keluar,
menyalami umatnya. Saat memimpin Ekaristi dan petugas koornya jelek, ia
langsung berkomentar. “Apakah ini suara tikus?” kritiknya dengan nada
halus. Tetapi kalau koornya bagus, sebelum misa selesai ia mengumumkan,
“Setelah misa ini, petugas diundang ke pastoran.” Semua umat sudah tahu
bahwa Romo Kanjeng akan menjamu petugas dengan memberi minum, snack,
atau permen di pastoran. Dengan itu ia memperhatikan hal-hal kecil,
mengingat kemanusiaan, dan menghagai karya orang lain.
Ketika musim kemarau,
banyak umat mengeluh kepada Romo Kanjeng, “Oh, Romo panas, Romo.” Romo
Kanjeng pun menjawab, “Besok ke gereja ya, minta hujan.” Dan esoknya pun
hujan. Setiap Malam Paskah, ia memberkati tong-tong air. Air itu air
suci karena telah diberkati. Bila ada anggota keluarga yang panas
badannya, air itu bisa digunakan untuk kompres, dan air itu cukup
disimpan di rumah sebagai tanda bahwa dengan adanya air itu, rumah
menjadi terberkati. Dari cara menggembalakan umat seperti ini, Romo
Kanjeng hendak menanamkan dalam diri umat bahwa orang katolik bukanlah
orang yang hanya terbatas pada baptisan. Lebih dari itu, orang kristiani
perlu bertekun dalam ajaran. Diharapkan umat dapat mengimani Yesus
meski secara sederhana. **
(Sumber: buku Nabi-nabi Cinta Kasih)
selamat yaachh
BalasHapus